INDUSTRI NIKEL GELISAH KARENA RI PERKETAT PENGAWASAN TERHADA SMELTER
Share via
Category
Business Economics
Published On
21 November 2025
32433587
IQPlus, (21/11) - Ambisi industri Indonesia yang kaya nikel kembali terhambat, seiring pemerintah memperketat aturan pembangunan smelter baru. Peraturan baru ini mengancam akan menggagalkan investasi bernilai miliaran dolar yang terkait dengan cadangan nikel terbesar di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Aturan yang lebih ketat, yang bertujuan untuk mendorong sektor ini lebih jauh ke manufaktur hilir, menghadirkan lapisan ketidakpastian baru bagi perusahaan yang telah menghadapi siklus harga yang lemah, kelebihan pasokan, dan lingkungan kebijakan yang menurut para analis menguji kesabaran investor.
Beberapa proyek jangka panjang ini melibatkan komitmen modal yang cukup besar dan struktur pembiayaan yang dibangun di sekitar produksi produk antara tepatnya output yang sekarang dibatasi berdasarkan aturan baru, kata Arif Perdanakusumah, ketua Forum Industri Nikel Indonesia, kepada The Business Times.
"Proyek-proyek ini telah dikembangkan selama beberapa waktu dan melibatkan investasi yang substansial," tegasnya.
Tanpa ketentuan transisi, Arif memperingatkan, perusahaan-perusahaan dalam fase konstruksi tengah berisiko mengalami kemunduran operasional dan kerugian finansial. Hal ini, pada gilirannya, dapat menurunkan minat investor di sektor yang menganggap kepastian regulasi sangat penting.
Berdasarkan arahan pemerintah, perusahaan yang mengajukan izin industri untuk membangun fasilitas pemurnian harus menyatakan bahwa mereka tidak akan memproduksi produk nikel antara utama seperti besi kasar nikel, feronikel, matte nikel, atau endapan hidroksida campuran, tergantung pada teknologi yang dipilih.
Fasilitas pemrosesan atau pemurnian baru masih dapat dikembangkan, tetapi hanya jika perusahaan berkomitmen untuk memproduksi produk hilir bernilai lebih tinggi daripada berhenti pada output antara. Hal ini sejalan dengan tujuan produsen nikel terbesar di dunia untuk bergerak lebih jauh dalam rantai nilai, dan menarik investasi hilir nikel kelas dunia.
Namun, pergeseran kebijakan di sektor tengah telah menimbulkan kemunduran baru bagi beberapa produsen nikel, termasuk banyak yang didukung oleh investor Tiongkok, yang telah mulai membangun smelter jauh sebelum peraturan tersebut berlaku.
Forum Industri Nikel Indonesia mendesak pemerintah untuk memberikan pengecualian bagi proyek-proyek yang sudah berada pada tahap lanjut, dengan peringatan bahwa perubahan kebijakan yang tiba-tiba berisiko merusak kepercayaan investor dan mengganggu produktivitas di sektor hilir.
Aturan baru ini menyusul spekulasi berbulan-bulan bahwa Indonesia, yang ekspansi smelternya yang pesat telah mengubah pasar nikel global, akan memberlakukan moratorium proyek-proyek baru.
Meskipun aturan tersebut telah dikeluarkan melalui peraturan pemerintah pada bulan Juni, kekhawatiran seputar hal tersebut kembali muncul baru-baru ini. Seorang narasumber di industri mengatakan bahwa hal ini mungkin terkait dengan lampiran teknis yang baru dirilis pada bulan Oktober yang merinci produk antara yang dibatasi. Hal ini mungkin telah menimbulkan kebingungan terkait proyek-proyek yang sedang berjalan.
Para pengembang kini sedang mencari kejelasan apakah pembatasan tersebut berlaku untuk smelter yang sudah dalam pembangunan.
Perkembangan terbaru ini kemungkinan besar tidak akan berdampak signifikan terhadap harga nikel global dalam waktu dekat. "Dalam jangka pendek, penghentian sementara ini tidak akan banyak berpengaruh," ujar Chan Ker Liang, analis korporat di S&P Global Ratings.
"Kita berada dalam siklus yang lemah, yang secara alami menghambat investasi di sektor pertambangan. Namun demikian, ketidakpastian regulasi selalu menjadi hambatan utama bagi investor asing di pasar ini."
Setelah sempat melonjak di atas US$20.000 per ton pada awal tahun 2025, harga nikel tetap rendah di sekitar US$15.000 per ton, terbebani oleh jeda tarif, ketegangan perdagangan, dan pertumbuhan permintaan yang lebih lemah.
Anjloknya harga memperparah kesulitan industri yang sudah bergulat dengan kelebihan pasokan yang terus-menerus.
Indonesia sedang bersiap untuk lonjakan produksi nikel, dengan 147 proyek smelter yang direncanakan di seluruh negeri, menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia.
Proyek pirometalurgi mendominasi, dengan total 120 proyek dan membutuhkan hampir 585 juta ton bijih nikel, sementara 27 proyek hidrometalurgi membutuhkan lebih dari 150 juta ton bijih.
Permintaan gabungan sebesar 735,2 juta ton tersebut lebih dari dua kali lipat rencana kerja dan anggaran yang disetujui pemerintah sebesar 364 juta ton bijih pada tahun 2025. Permintaan ini juga jauh melampaui anggaran tahun lalu sebesar 319 juta ton, yang menunjukkan ekspansi industri yang pesat.
S&P Global Market Intelligence memperkirakan pasar nikel akan mencatat surplus sekitar 200.000 ton tahun ini.
Perusahaan memperkirakan pasar baru normal menjelang akhir dekade ini, sehingga membatasi potensi pemulihan harga berkelanjutan. (end/bussinesstimes.com)
Related Research
News Related
