BCA Sekuritas
    langid
    Berita Harian

    OUTPUT GAP JADI KUNCI DI BALIK KEBERANIAN BI DAN PEMERINTAH MENINGKATKAN UANG BEREDAR

    Terbit Pada

    26 September 2025

    1758859140077570

    IQPlus, (26/9) - Bank Indonesia (BI) baru-baru ini merilis laporan yang menunjukkan bahwa jumlah uang yang beredar dalam perekonomian Indonesia, atau yang dikenal sebagai M2, mencapai Rp 9.657,1 triliun per Agustus 2025. Angka ini tumbuh 7,6% dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di 6,6% pada bulan sebelumnya.

    M2 mencakup semua uang tunai di tangan masyarakat, tabungan di bank, deposito berjangka, dan rekening giro. Peningkatan ini cukup menggembiarakan karena menandakan bahwa perekonomian Indonesia semakin likuid, alias uang yang mengalir di masyarakat bertambah banyak. Langkah BI dan Kementerian Keuangan dalam mendorong likuiditas ini patut diapresiasi karena berhasil mengatasi keluhan "uang kering" yang sempat mencuat di awal 2025.

    Namun, yang lebih menggembirakan adalah tingkat pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit, atau M1, yang mencapai 10,5% per Agustus 2025. M1 adalah uang tunai dan tabungan yang bisa langsung digunakan untuk transaksi, seperti pembayaran melalui QRIS di pusat perbelanjaan.

    Ekonom Senior PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), Emil Muhammad, mengatakan pertumbuhan M1 ini sangat relevan dengan kondisi riil masyarakat karena mencerminkan uang yang langsung bisa dipakai untuk belanja atau investasi. Salah satu faktor Utama di balik lonjakan M1 adalah percepatan belanja pemerintah, khususnya transfer ke daerah yang telah mencapai 66% dari pagu anggaran per 31 Agustus 2025.

    "Transfer ke daerah itu sudah 66% dari pagu anggaran. Artinya, uang itu sebenarnya sudah mengalir kembali," ungkap Emil. Hal ini berarti dana pemerintah sudah mulai menyebar ke berbagai daerah untuk mendukung aktivitas ekonomi daerah.

    Namun, peningkatan jumlah uang beredar ini memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama kekhawatiran memicu inflasi, alias kenaikan harga barang dan jasa. Emil menegaskan bahwa kekhawatiran ini belum atau tidak akan terjadi dalam 3 hingga 6 bulan ke depan.

    "Apakah dalam 3 sampai 6 bulan ke depan akan inflasi? Menurut kami belum. Harga pangan tertentu, seperti beras, bawang, maupun cabai, memang bisa naik tiba-tiba dan mendorong inflasi, tetapi ini tidak terkait langsung dengan jumlah uang beredar. Inflasi inti, yang diyakini lebih deipengaruhi oleh jumlah uangberedar , diprediksi tetap stabil dalam waktu dekat," ujar Emil.

    Keyakinan ini didasarkan pada kondisi perekonomian Indonesia yang masih memiliki output gap, atau selisih antara pertumbuhan ekonomi saat ini dan potensi maksimalnya. Dalam bahasa sederhana, output gap berarti ekonomi kita belum berjalan pada kapasitas penuh, sehingga masih ada ruang untuk tumbuh tanpa memicu kenaikan harga.

    "Ekonomi kita masih ada yang namanya output gap. Pemerintah telah memaparkan potensial PDB kita itu 6% ke atas. Jadi, selama pertumbuhan PDB aktual kita belum 6%, menambah jumlah uang beredar belum akan menggerakkan inflasi," ungkap Emil.

    Dua indikator utama yang menunjukkan bahwa output gap masih besar. Pertama, inflasi inti berada di level 2,3%, angka ini berada di bawah target BI sebesar 2,5%. Kedua, utilisasi industri, atau tangkat penggunaan kapasitas industri, masih di bawah 75%. Dengan kata lain, meski permintaan naik 10% pun, tidak akan menggerakkan inflasi secara signifikan. Hal ini dapat diasumsikan pabrik-pabrik di Indonesia masih bisa memproduksi lebih banyak sehingga permintaan yang naik dapat diimbangi dengan kenaikan produksi tanpa diikuti kenaikan harga jual.

    Langkah BI dan Kementerian Keuangan dalam meningkatkan likuiditas ini layak mendapat pujian karena menunjukkan kerja sama yang solid untuk menggerakkan roda perekonomian. BI telah menggelontorkan likuiditas sebesar Rp 800 triliun sepanjang 2025 melalui berbagai kebijakan, seperti menurunkan jumlah outstanding Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) , memberikan diskon Giro Wajib Minimum (GWM), dan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

    "Penurunan dari SRBI berarti efektif menyumbang likuiditas sebesar Rp 9 triliun hanya dari SBN," jelas Emil.

    Sementara itu, Kementerian Keuangan mempercepat belanja pemerintah, yang sempat tersendat di awal tahun. Realisasi belanja pemerintah sampai dengan 31 Agustus telah mencapai Rp 1.960,3 triliun atau 55,6 persen dari target outlook pemerintah. Sinergi ini sangat positif dan berhasil mengubah narasi "uang kering" di paruh pertama 2025 menjadi momentum pertumbuhan di semester kedua"tambah Emil.

    "Langkah BI dan Kementerian Keuangan ini adalah bukti nyata komitmen untuk menggerakkan ekonomi Indonesia di tengah tantangan global. Dengan memanfaatkan output gap, kedua institusi ini telah membuka peluang untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dengan risiko inflasi yang terkendali dalam waktu dekat. Ke depan, jika pertumbuhan ekonomi mendekati 5,4% atau lebih, BI dan pemerintah mungkin perlu menyesuaikan kebijakan untuk mencegah ekonomi overheat. Namun, untuk saat ini, langkah berani ini adalah awal yang baik dari berbagai upaya mendorong pertumbuhan lainnya menuju Indonesia Emas 2045" tutup Emil. (end)