MINYAK SENTUH LEVEL TERENDAH DALAM DUA BULAN
Share via
Published On
14 August 2025
22525461
IQPlus, (14/8) - Harga minyak anjlok ke level terendah dalam lebih dari dua bulan pada hari Rabu setelah arahan pasokan yang melemah dari pemerintah AS dan Badan Energi Internasional (IEA), sementara investor mencermati ancaman Presiden AS Donald Trump akan "konsekuensi berat" jika Vladimir Putin dari Rusia menghalangi perdamaian di Ukraina.
Harga minyak mentah Brent berjangka ditutup turun 49 sen, atau 0,7 persen, menjadi US$65,63 per barel. Selama sesi tersebut, harga minyak mentah Brent turun ke US$65,01 per barel, level terendah sejak 6 Juni.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate AS turun 52 sen, atau 0,8 persen, menjadi US$62,65 per barel. Kontrak tersebut turun ke US$61,94 per barel, level terendah sejak 2 Juni.
Stok minyak mentah AS naik 3 juta barel menjadi 426,7 juta barel, menurut Badan Informasi Energi (EIA) pada hari Rabu. Para analis dalam jajak pendapat Reuters memperkirakan penurunan sebesar 275.000 barel.
Impor minyak mentah bersih AS naik pekan lalu sebesar 699.000 barel per hari, menurut EIA.
"Ekspor minyak mentah ini masih di bawah standar yang biasa kita lihat, turun akibat kebijakan tarif," kata John Kilduf, mitra di Again Capital di New York, seraya menambahkan bahwa penurunan ekspor yang berkelanjutan dapat membebani harga.
Badan Energi Internasional (IEA) pada hari Rabu menaikkan proyeksi pertumbuhan pasokan minyak tahun ini, tetapi menurunkan proyeksi permintaannya. Trump diperkirakan akan bertemu dengan Putin di Alaska pada hari Jumat untuk membahas upaya mengakhiri perang Rusia di Ukraina, yang telah mengguncang pasar minyak sejak Februari 2022.
Ketika ditanya apakah Rusia akan menghadapi konsekuensi apa pun jika Putin tidak setuju untuk menghentikan perang setelah pertemuan hari Jumat, Trump menjawab pada hari Rabu: "Ya, akan."
Ketika ditanya apakah konsekuensi tersebut berupa sanksi atau tarif, Trump mengatakan kepada wartawan: "Saya tidak perlu mengatakannya, akan ada konsekuensi yang sangat berat." (end/Reuters)
Related Research
News Related