KEMENPERIN DORONG PENGEMBANGAN EKOSISTEM INDUSTRI BAMBU
Share via
Terbit Pada
29 September 2025
1759132650238967
IQPlus, (29/9) - Kementerian Perindustrian terus mendorong pengembangan ekosistem industri bambu nasional secara terintegrasi dari hulu ke hilir agar mampu memberikan nilai tambah ekonomi sekaligus memperkuat fungsi konservasi lingkungan.
"Industri bambu dalam negeri memiliki potensi besar untuk dikembangkan terutama pada sektor kerajinan furnitur konstruksi hingga bioindustri. Saat ini Kemenperin telah mengembangkan beberapa program strategis untuk mendukung pengembangan industri bambu nasional,. ungkap Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya di Jakarta (29/9).
Sebelumnya, Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika telah melakukan kunjungan kerja ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) beberapa waktu lalu. "Hasil kunjungan ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar, namun masih ada tantangan yang harus kita jawab bersama, seperti ketersediaan bahan baku, permasalahan supply chain, dan peningkatan kompetensi SDM," ujar Putu.
Menurut Putu, permintaan global terhadap produk bambu bernilai tambah - seperti furnitur, dekorasi, dan konstruksi.terus meningkat. Bahkan, permintaan ekspor lantai kontainer dari bambu bisa mencapai 1.500 meter kubik per bulan, sementara kapasitas produksi dalam negeri baru sekitar 30 meter kubik per bulan.
"Kesenjangan ini menjadi peluang besar bagi industri bambu nasional untuk berkembang lebih agresif," jelasnya.
Selain potensi ekspor, pasar domestik juga tumbuh pesat terutama di sektor konstruksi kawasan wisata seperti Bali, Mandalika, Lombok, dan Labuan Bajo. Harga bangunan berbasis bambu bahkan bisa mencapai Rp12 juta per meter persegi dengan tingkat pengembalian investasi lebih cepat dibanding konstruksi beton.
"Tingkat pengembalian investasi bangunan bambu hanya 3 tahun, sedangkan BEP (Break Even Point) bangunan dari beton membutuhkan waktu 6-7 tahun," terang Putu.
Dalam kunjungan tersebut, Plt. Dirjen Industri Agro mengunjungi Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kerajinan dan Batik (BBSPJI-KB), PT. Dekor Asia Jayakarya, komunitas Sahabat BambuBoss di Sleman, kawasan Hutan Bambu Bulaksalak, dan PT Bambu Nusa Verde untuk memetakan ekosistem bambu yang terdapat di Yogyakarta.
Saat ini di wilayah DIY telah tumbuh model ekosistem bambu yang melibatkan riset, komunitas, dan industri secara terpadu, diantaranya seperti BBSPJI-KB yang memiliki alat pengujian furnitur serta mesin-mesin pengolahan bambu, lalu Sahabat BambuBoss yang tidak hanya melakukan produksi bangunan berbasis bambu, tetapi juga melakukan penanaman bibit bambu dengan jumlah 10.000 bibit per tahun, melakukan edukasi kepada masyarakat sekitar, hingga perencanaan pabrik laminasi dan gudang penyimpanan bahan baku bambu. Selain itu, terdapat pula Hutan Bambu seluas 3 hektar yang merupakan hasil reklamasi tambang pasir di Cangkringan dan dikelola dengan konsep agroforestry dengan tujuan untuk mendukung konservasi dan ketahanan pangan masyarakat. Lalu, PT Bambu Nusa Verde yang berperan penting dalam riset berbasis bioteknologi bambu sejak 1994 untuk menjamin keseragaman kualitas bibit.
Lebih lanjut, Putu menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor agar ekosistem bambu lebih berkelanjutan.
"Kami mendorong kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan komunitas. Dukungan regulasi serta insentif investasi juga tengah kami siapkan seperti program restrukturisasi mesin dan peralatan, dan subsidi bunga pinjaman sebesar 5% melalui Kredit Industri Padat Karya (KIPK)," paparnya.
Kemenperin turut menginisiasi pembuatan pusat logistik bahan baku bambu untuk mempermudah pelaku usaha memperoleh bahan baku dengan cepat dan harga terjangkau, menurunkan biaya produksi, mempercepat arus distribusi ke pabrik untuk meningkatkan daya saing, dan juga mengembangkan Akademi Komunitas Bambu untuk meningkatkan kapasitas serta kompetensi SDM.
Sebelumnya, telah dilakukan riset terhadap biodiversity bambu di Indonesia dan menunjukkan bahwa kualitas mekanik dari bambu petung dan bambu apus lebih unggul dibandingkan bambu moso dari Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan alam Indonesia memiliki potensi dan perlu dikelola dengan tepat sehingga industri bambu nasional mampu menjadi pemain utama di pasar global.
"Industri bambu tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga ramah lingkungan. Ini sejalan dengan target Uni Eropa untuk meningkatkan penggunaan material konstruksi carbon storing hingga 30% pada tahun 2030. Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemasok utama," tutup Putu. (end)