INVESTOR LEBIH PILIH OBLIGASI INDONESIA DIBANDING INDIA
Share via
Terbit Pada
08 September 2025
1757298338576110
IQPlus, (8/9)- Investor lebih memilih obligasi pemerintah Indonesia daripada obligasi India dalam persaingan antara dua pasar imbal hasil tinggi tradisional di Asia. Para analis mengatakan tren ini masih berpotensi berlanjut.
Selisih imbal hasil antara obligasi 10 tahun Indonesia dan India saat ini sekitar 10 basis poin. Ekonom yang disurvei Bloomberg memperkirakan selisih tersebut akan berlipat ganda pada kuartal ketiga 2026, menggarisbawahi ekspektasi kinerja utang negara Asia Tenggara tersebut yang berkelanjutan.
Investor cenderung melirik Indonesia meskipun terjadi gejolak politik. Mereka bertaruh pada prospek penurunan suku bunga yang lebih kuat, disiplin fiskal yang lebih baik, dan risiko perdagangan yang lebih rendah dibandingkan di India, di mana pertumbuhan ekonomi menghadapi hambatan akibat tarif 50 persen yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump, yang paling ketat di Asia.
"Obligasi Indonesia dapat terus berkinerja lebih baik hingga akhir tahun, mengingat BI terbuka terhadap penurunan suku bunga lebih lanjut, sementara RBI lebih enggan dengan pandangan bahwa inflasi dapat melonjak di paruh kedua tahun ini," kata Murray Collis, kepala pendapatan tetap Asia di Manulife Investment Management. Ia merujuk pada Bank Indonesia (BI) dan Bank Sentral India (RBI).
Imbal hasil obligasi 10 tahun Indonesia diperkirakan turun menjadi 5,98 persen pada kuartal ketiga 2026, menurut rata-rata ekonom yang disurvei Bloomberg. Untuk India, imbal hasil obligasi diproyeksikan turun menjadi 6,16 persen. Hal ini akan meninggalkan selisih 18 basis poin yang menguntungkan india.
Arus modal mencerminkan divergensi tersebut. Sejak April, dana global telah menggelontorkan US$3,3 miliar ke obligasi Indonesia, sementara utang India telah mengalami arus keluar sekitar US$800 juta menyusul pengumuman tarif Washington pada 2 April.
Utang kedua negara telah lama dipandang sebagai pesaing tradisional, yang menawarkan hasil relatif tinggi menurut standar Asia, menjadikannya titik perbandingan alami bagi investor yang mencari keuntungan di kawasan tersebut. (end/Bloomberg)